KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Wr.Wb
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan atas rahmat Allah Yang Maha Kuasa , sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah tersebut.
Laporan ini diharapkan dapat menjadi inspirasi dan manfaat bagi kita semua. Kami menyadari bahwa Makalah ini masih banyak kekurangan walaupun telah diupayakan dengan maksimal, untuk itu saran dan kritik sangat saya harapkan.
Penulis
![Text Box: ii](file:///C:/Users/server/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.png)
KATA PENGANTAR...................................................................................
DAFTAR ISI ................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................
A. LATAR BELAKANG ................................................................
B. RUMUSAN MASALAH ............................................................
BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................
A. LATAR BELAKANG TERJADINYA SENGKETA INTERNASIONAL
B. MENGAPA AMBALAT MENJADI REBUTAN ........................
C. UPAYA PEMERINTAH DALAM MEMPERTAHANKAN KEDAULATAN NKRI
BAB III PENUTUP ......................................................................................
A. KESIMPULAN ..........................................................................
B. SARAN ......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia
adalah Negara yang sangat kaya akan rempah-rempah dan juga memiliki banyak
kepulauan. Tidak heran wilayah Indonesia pada zaman dahulu pernah dijajah oleh
Bangsa lain, ini disebabkan karena wilayah Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam
nya. Namun sayang sekali Indonesia belum memiliki Sumber Daya Manusia yang
dapat mengelola kekayaan alam yang ada di Indonesia dengan baik dan semaksimal
mungkin.
Indonesia
memiliki 17.506 pulau-pulau yang menjadi batas langsung Indonesia dengan Negara
tetangga. Berdasarkan hasil survey Base Point atau Titik Dasar yang telah
dilakukan DISHIDROS TNI AL, untuk menetapkan batas wilayah dengan negara
tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya
ada di tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai. Dari 92 pulau terluar ini
ada 12 pulau yang harus mendapatkan perhatian serius.
Akibatnya
wilayah perbatasan yang ada di Indonesia kurang diperhatikan, dan mungkin
karena hal tersebut Negara-negara lain mulai berpikir untuk merebut perbatasan
yang ada di Indonesia. Salah satu kasus yang akan penulis bahas dalam makalah
ini adalah “ Sengketa Internasional Batas Wilayah (Ambalat) Antara Indonesia
Dengan Malaysia “
B. RUMUSAN
MASALAH
Sebuah
Negara tidak akan pernah terlepas dari sebuah permasalahan, begitu juga dengan
Negara Indonesia yang tidak pernah terlepas dari masalah. Contohnya
permasalahan mengenai perbatasan dengan Negara Malaysia.
Masalah
sengketa mengenai Blok Ambalat ini dimulai ketika pada 16 Februari 2005
perusahaan minyak Malaysia Petronas memberikan konsesi bagi hasil kepada
perusahaan minyak Belanda Shell untuk mengeksplorasi minyak di Laut Sulawesi,
yang disebut oleh pihak-pihak itu sebagai blok Y dan Z. Sedangkan Indonesia,
yang melihat wilayah tersebut sebagai bagian dari kedaulatan teritorialnya,
menyebutnya sebagai Blok Ambalat dan Ambalat Timur.
Klaim
Indonesia atas wilayah tersebut ditunjukkan dengan adanya kebijakan pemerintah
Indonesia sejak 1966 untuk memberikan konsesi minyak kepada berbagai perusahaan
minyak di kawasan timur Kalimantan itu tanpa pernah diprotes oleh pihak
Malaysia. Tapi, pada 1979, pemerintah Malaysia mengumumkan peta wilayah
berdasarkan interpretasi sepihak yang memasukkan wilayah timur Kalimantan
tersebut ke dalam wilayah kedaulatan Malaysia. Ketika itu, peta buatan Malaysia
ini diprotes oleh beberapa negara, seperti RRC, Filipina, Thailand, Inggris
(mengatas namakan Brunei Darussalam), dan Indonesia,tapi tidak mendapatkan
tanggapan dari pihak Malaysia hingga saat ini.
Indonesia,
yang merasa batas-batas wilayahnya tidak berubah, menegaskan klaim
teritorialnya dengan memberikan konsesi selama 30 tahun kepada dua perusahaan
minyak Italia, ENI Ambalat Ltd. dan ENI Bukat Ltd., untuk mengeksplorasi minyak
di wilayah tersebut dan juga kepada perusahaan AS Unocal untuk melakukan pengeboran
sejak 24 Februari 1998.
Sementara
konflik pada masa Perang Dingin didasari alasan-alasan ideologis, pada era
pasca-Perang Dingin alasan-alasan mendasar yang dibungkus dengan alasan
ideologis kemudian muncul ke permukaan. Salah satu jenis konflik yang
sebenarnya paling primitif dalam peradaban manusia adalah konflik yang muncul
karena adanya kompetisi untuk memperebutkan sumber daya yang vital dalam rangka
mempertahankan kelangsungan hidup, yang dikenal dengan terminologi
"konflik energi" (Michael T. Klare, Foreign Affairs, 80/3, Mei/Juni
2001). Menurut Klare, setidaknya ada tiga jenis konflik energi yang telah
berlangsung, yaitu kompetisi untuk memperoleh akses atas sumber daya utama
seperti minyak dan gas bumi, friksi atas alokasi air, dan perang internal untuk
memperebutkan komoditas yang bernilai tinggi seperti berlian, emas, dan
tembaga.
Menurut
Klare, konsumsi energi global akan mengalami peningkatan kira-kira 2% per
tahun. Secara spesifik, berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Energi
AS, konsumsi minyak global akan meningkat dari 77 juta barel per hari pada 1999
menjadi 110 juta barel per hari pada 2020. Negara-negara industri baru (newly
emerging countries) seperti Brasil dan Malaysia kemungkinan besar akan mencapai
tingkat konsumsi dua kali atau bahkan tiga kali lipat dari konsumsi energi
sebelumnya. Sementara itu, jumlah sumber daya yang ada secara relatif jauh
lebih sedikit jika dibandingkan dengan peningkatan konsumsi dunia secara
besar-besaran tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menemukan
sumber-sumber alternatif bagi keterbatasan sumber daya alami tersebut. Selain
itu, upaya untuk menekan penggunaan sumber daya dilakukan dengan menaikkan tingkat
harga.
Namun, di
sisi lain, kemajuan di bidang teknologi yang menghasilkan penemuan-penemuan
baru sering kali justru semakin memperparah tingkat konsumsi sumber daya. Sedangkan
penemuan alternatif sumber daya lain belum mencapai tingkat substitusi yang
optimal sehingga belum mampu menutupi kebutuhan terhadap sumber daya alami
tersebut.
Klare
mengusulkan suatu pemetaan wilayah-wilayah sumber daya yang berpotensi untuk
menjadi wilayah-wilayah konflik di masa depan. Untuk sumber daya minyak dan gas
bumi, Klare memasukkan kawasan Teluk Persia, Laut Kaspia, Laut Cina Selatan,
serta negara-negara Afrika seperti Aljazair, Angola, Chad, Nigeria, dan Sudan,
ditambah Indonesia, Kolombia, dan Venezuela. Wilayah-wilayah ini mencakup empat
perlima dari luas wilayah penghasil minyak dan gas bumi di dunia. Konflik
kemudian tidak hanya potensial untuk terjadi di wilayah-wilayah sumber daya
tersebut, tapi juga di wilayah-wilayah yang merupakan jalur pipa (pipelines)
atau jalur lalu lintas bagi kapal-kapal tanker yang mengangkut minyak dan gas
bumi.
Menurut
Klare, selain karena keberadaan sumber daya di wilayah-wilayah tersebut,
konflik potensial terjadi karena adanya serangkaian faktor lain, di antaranya
sejarah konflik di antara negara-negara di kawasan tempat terletaknya sumber
daya itu dan faktor stabilitas politik, baik di dalam negara pemilik maupun di
kawasan sumber daya tersebut. Dalam kasus Indonesia-Malaysia, kasus yang paling
dekat keterkaitannya dengan konflik Ambalat ini adalah sengketa kepulauan
Sipadan-Ligitan, yang berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional pada 2002
diserahkan kepemilikannya kepada Malaysia. Keputusan ini jelas memberikan
trauma tersendiri bagi para elite politik di Indonesia. Bahkan kalangan elite
dan sebagian kelompok masyarakat juga mengaitkan kasus Ambalat dengan
Konfrontasi Malaysia pada 1963, yang sebenarnya merupakan taktik elite politik
Orde Lama untuk mengalihkan fokus masyarakat dari kondisi politik dan ekonomi
domestik saat itu yang carut-marut akibat kebijakan mercusuar yang dijalankan
pemerintah Soekarno.
Hal yang
patut dicermati adalah kenyataan bahwa wilayah Indonesia yang saat ini terbelit
konflik sosial berkepanjangan (manifes maupun latent) umumnya adalah daerah
yang berada dijalur pelayaran internasional, seperti, Bali, Lombok, Maluku,
Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Riau, Aceh, Papua dan
lain-lain. Kenyataan ini patut diwaspadai karena tak tertutup kemungkinan
adanya pihak luar yang bermain di dalam konflik yang terjadi di beberapa daerah
ini. Selain itu sebab jika Indonesia gagal mengatasinya, dan konflik yang
terjadi berkembang menjadi ancaman bagi keselamatan pelayaran internasional,
maka berdasarkan keten-tuan internasional, negara asing diperbolehkan
menu-runkan satuan militernya di wilayah itu demi menjaga kepentingan dunia.
Dalam
rangka pengamanan jalur-jalur strategis tersebut, sejumlah negara maju secara
bersama-sama telah membentuk satuan reaksi cepat yang disebut "Stand By
High Readness Brigade" (SHIRBRIG) berkekuatan 4000 personil yang selalu
siap digerakkan ke suatu target sebagai "muscular peace keeping
force."
BAB II
PEMBAHASAN
A. LATAR BELAKANG TERJADINYA SENGKETA
INTERNASIONAL
Persengketaan bisa terjadi
karena:
1. Terjadinya kesalahpahaman tentang suatu
hal.
2. Salah satu pihak sengaja melanggar hak /
kepentingan Negara lain.
3. Dua Negara berselisih pendirian tentang
suatu hal.
4. Pelanggaran hukum / perjanjian
internasional.
Sebab timbulnya sengketa
internasional yang sangat potensial terjadinya perang terbuka:
1. Segi Politis (adanya pakta pertahanan /
pakta perdamaian)
Pasca Perang Dunia II (1945)
muncul dua kekuatan besar yaitu Blok Barat (NATO pimpinan AS) dan Blok Timur (PAKTA
WARSAWA pimpinan Uni Soviet). Mereka bersaing berebut pengaruh di bidang
Ideologi, Ekonomi, dan Persenjataan. Akibatnya sering terjadi konflik di
berbagai negara, missalnya Krisis Kuba, Perang Korea (Korea Utara didukung Blok
Timur dan Korea Selatan didukung Blok Barat), Perang Vietnam dll.
2. Batas Wilayah.
Suatu Negara berbatasan dengan
wilayah Negara lain. Kadang antar Negara terjadi ketidak sepakatan tentang
batas wilayah masing – masing. Misalnya Indonesia dengan Malaysia tentang Pulau
Sipadan dan Ligitan (Kalimantan). Sengketa ini diserahkan kepada Mahkamah
Internasional dan pada tahun 2003 sengketa itu dimenangkan oleh Malaysia.
Dengan runtuhnya Blok Timur
dengan ditandai runtuhnya Tembok Berlin tahun 1989 maka AS muncul sebagai
kekuatan besar (Negara Adikuasa). Sehingga cenderung membawa dunia dalam
tatanan yang bersifat UNIPOLAR artinya AS bertindak sebagai satu – satunya
kekuatan yang mengendalikan sebagian besar persoalan di dunia. Akibatnya
cenderung muncul sengketa di dunia internasional.
Selain terkait dengan kepentingan
internasional (baca: negara-negara maju), Indonesia sebenarnya menghadapi
beberapa persoalan latent dengan sesama negara anggota Asean. Penyebabnya
selain karena perbedaan kepentingan masing negara yang tak dapat dipertemukan,
juga karena berbagai sebab lain yang muncul sebagai akibat dinamika sosial
politik dimasing-masing negara. Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina,
mungkin saja bisa bekerjasama dalam mengatasi persoalan aksi terorisme di
kawa-san ini. Namun, sikap masing-masing negara tentu akan berbeda dalam soal
tenaga kerja illegal, illegal loging, pelanggaran batas wilayah dalam
penangkapan ikan, dan sebagainya.
Hal yang sama juga bisa terjadi
dengan Singapura dalam soal pemberantasan korupsi, penyelundupan dan pencucian
uang. Sedangkan dengan Timor Leste masalah pelanggaran hak asasi manusia dimasa
lampau dan lalulintas perbatasan kerap masih jadi ganjalan bagi harmonisasi
hubungan kedua negara.
Mengenai pengendalian pelayaran
di kawasan Asia Tenggara, hingga kini Singapura tetap keras menolak usulan
Indonesia untuk mengalihkan sebagian lalu lintas pelayaran kapal berukuran
besar dari Selat Malaka ke Selat Lombok/Selat Makasar. Padahal jalur pelayaran
di selat ini tidak hanya diper-gunakan untuk armada niaga tetapi juga bagi
kapal perang. Dan Indonesia tentu ikut terganggu bila kapal-kapal perang dari
dua negara yang sedang bertikai berpapasan di perairan Indonesia.
Dalam satu dekade terakhir tampak
adanya upaya beberapa negara Asean telah melipatgandakan kekuatan militernya.
Terutama Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Dari beberapa data tampak bahwa
dalam aspek persenjataan, Thailand menunjukkan peningkatan yang signifikan
diantara negara-negara di Asia Teng-gara. Untuk memperkuat angkatan laut,
misalnya negara gajah putih ini telah memiliki kapal perang canggih, dan siap
beroperasi hingga sejauh di atas 200-300 mil demi mengamankan kepentingan
negaranya. Tentu, termasuk menjaga keselamatan nelayan Thailand yang banyak
beroperasi di perairan teritorial Indonesia.
Malaysia juga tak ketinggalan
menambah armada perangnya. Angkatan Tentara Laut Diraja Malaysia, setidaknya
dengan memiliki beberapa freegat dan korvet baru. Dengan penambahan kekuatan,
kedua negara tersebut sangat berpeluang jadi mitra negara-negara maju demi
mengimbangi Indonesia dalam soal pengamanan kawasan Asia Tenggara.
B. MENGAPA AMBALAT MENJADI REBUTAN ?
Ada yang
mengartikan Ambalat adalah sebagai singkatan dari Ambang Batas Laut. Tapi
ternyata dalam wikipedia bahasa Indonesia tidak disebutkan demikian. Itu
berarti Ambalat adalah kata tunggal. Lagi pula ada banyak perbatasan laut
Indonesia dengan negeri tetangga selain dengan Malaysia seperti Singapura,
Thailand, Vietnam dan Filipina. Tapi perbatasan laut itu tidak pernah disebut
dengan kata Ambalat.
Di
Malaysia, rakyat, pemerintah federal dan pihak kerajaan juga memakai kata
Ambalat. Malah sering dibumbui dengan kalimat daerah kontroversi yang kaya
minyak. Seolah-olah Malaysia ingin mengklaim bahwa negeri itu sudah diterima masuk
dalam ’kawasan sengketa’.
Yang
tidak kita ketahui; apakah kata Ambalat itu sudah didaftarkan sebagai hak paten
bahasa atau nama kawasan negeri Jiran? Sehingga suatu saat kelak - kalau
sengketa batas negara ini muncul di pengadilan internasional - kita akan ’gelagapan’
lagi seperti pada sidang Pulau Sipadan dan Ligitan.
Ada yang
mengartikan bahwa Ambalat adalah sebuah pulau yang berpehuni, padahal
pengartian dari Ambalat itu sendiri adalah perairan lautan Selat Makassar atau
laut Sulawesi sebelah Utara Pulau Sebatik Kabupaten Nunukan. Ambalat, perairan
yang terjepit antara Sulawesi dan Kalimantan itu adalah titik paling didih
dalam hubungan Indonesia dengan Malaysia beberapa tahun terakhir. Malaysia
sudah mengincarnya sejak 1979. Ketika negeri jiran itu menerbitkan peta yang
memasukkan Sipadan dan Ligitan sebagai basis untuk mengukur zona ekonomi
eksklusif mereka. Di dalam peta mereka, Ambalat masuk Malaysia.
Terang
saja pemerintah Indonesia menepis klaim Malaysia. Soalnya, dari riwayata sejarahnya saja
Ambalat masuk wilayah Kesultanan Bulungan (Kalimantan Timur) yang kini menjadi
bagian dari Indonesia.
Membuka
lembaran hukum laut internasional atau konvensi hukum laut PBB yang telah
dituangkan dalam UU No.17 tahun 1984, ternyata Ambalat juga diakui dunia
Internasional sebagai wilayah Indonesia. Anehnya, Malaysia tetap ngotot. Mereka
mengirim kapal perangnya untuk patrol di perairan tersebut. Bahkan ada nelayan
yang berasal dari Indonesia pada saat melaut ditangkap dan dipukul, juga di
usir.
Sesungguhnya
yang mereka incar bukan hanya keinginan memperluas batas wilayah negara, di
sini ada kekayaan alam yang berlimpah di sini. Bahkan menurut Departemen Energi
dan Sumber Daya Manusia di Ambalat ada tambahan kandungan minyak dengan
produksi 30.000 - 40.000 barel per hari.
Masyarakat
kawasan perbatasan sendiri seperti Nunukan, Tarakan dan Bulungan, baru
mengetahui ada Ambalat di dekat rumah mereka. Selama ini yang mereka ketahui
adalah Karang Unarang, sebuah kawasan prairan yang sering dimasuki kapal
militer Malaysia.
Para
nelayan di utara Kalimantan Timur sudah hafal mana kawasan lintasan untuk
perahu motor mereka, yakni kawasan yang lebih dalam. Di sana banyak terdapat
’gusung’ alias gundukan pasir yang ketika air surut akan membuat kandas perahu
atau kapal yang terjebak di situ.
Ketika
ada kapal berbendera Malaysia dan kapal perang militer negeri Jiran itu
terlihat memasuki perairan Indonesia di Karang Unarang tersebut, para nelayan
umumnya memaklumi karena kemungkinan kapal tersebut menghindari ’gusung’ dan
terpaksa meliuk memasuki perairan Indonesia.
Nah, pada
posisi itulah kemudian muncul ketegangan di Indonesia. Seolah-olah terjadi
pelanggaran yang disengaja oleh Tentara Diraja Malaysia. Pemberitaan media
massa sering pula meningkatkan tensi kemarahan, sehingga melontarkan kata-kata
’perang’.
Dalam
setiap perundingan, Malaysia tetap berkeras bahwa Blok Ambalat merupakan bagian
dari teritorinya. Bahkan mereka mengirimkan salinan nota diplomatik yang
intinya memprotes kehadiran kekuatan TNI di Blok Ambalat.
Mengapa Ambalat
jadi rebutan? Blok Ambalat dengan luas
15.235 kilometer persegi, ditengarai mengandung kandungan minyak dan gas yang
dapat dimanfaatkan hingga 30 tahun. Bagi masyarakat perbatasan, Ambalat adalah
asset berharga karena di sana diketahui memiliki deposit minyak dan gas yang
cukup besar. Kelak, jika tiba waktunya minyak dan gas tersebut bisa
dieksploitasi, rakyat di sana juga yang mendapatkan dampaknya. Ambalat memang menjadi wilayah
yang disengketakan oleh Malaysia dan Indonesia. Bahkan, pada 2005 sempat
terjadi ketegangan di wilayah itu karena Angkatan Laut Indonesia dan Malaysia
sama-sama dalam keadaan siap tempur. Ahli
geologi memperkirakan minyak dan gas yang terkandung di Ambalat ini mencapai Rp
4.200 triliun. Pemerintah melihat potensi ini. Dua perusahaan perminyakan
raksasa diizinkan beroperasi di perairan Ambalat yang terbagi dalam tiga blok,
yaitu East Ambalat, Ambalat, dan Bougainvillea, itu. Yaitu Eni Sp. A dan
Chevron Pacific Indonesia.
Ambisi
teritorial Malaysia tidak hanya dilakukan terhadap Indonesia. Kita tentu ingat
Sipadan dan Ligitan yang lepas dari Indonesia hanya karena Malaysia membangun
kedua pulau tersebut sedangkan Indonesia yang menjunjung kejujuran dengan tidak
membangun wilayah yang dipersengketakan dikalahkan oleh hakim-hakim Mahkamah
Internasional. Bukan hanya Sipadan dan Ligitan yang dibangun oleh Malaysia.
Kepulauan Spratley yang menjadi sengketa banyak negara (a.l. Malaysia, China,
Vietnam, Philipina) juga dibangun oleh Malaysia. Mungkin Malaysia ingin
mengulang kisah suksesnya dalam menganeksasi Sipadan dan Ligitan.
C. UPAYA PEMERINTAH DALAM MEMPERTAHANKAN
KEDAULATAN NKRI
Di mata
Pemerintah Indonesia, Ambalat bukan wilayah sengketa, dan juga tak ada tumpang
tindih wilayah. Jika Malaysia masuk, itu artinya upaya perampasan wilayah
kedaulatan. Akan tetapi masyarakat perbatasan membutuhkan jawaban dan
kepastian. Jangan biarkan mereka hidup dalam kebimbangan. Lantaran itu TNI
bersama dengan Pemerintah Kabupaten Nunukan dan masyarakat sudah bertekad untuk
menjaga Ambalat dan Karang Unarang sebagai wilayah teritorial Indonesia. Mereka
menancapkan bendera Merah Putih di perairan tersebut, sekaligus juga membiarkan
nelayan mendirikan bagang lebih banyak lagi.
Betapa
istimewanya Ambalat, blok laut seluas 15.235 kilometer persegi yang terletak di
laut Sulawesi atau Selat Makassar itu, hingga menjadi titik konflik antara dua
negara bertetangga ini. Wilayah Ambalat merupakan wilayah yang memiliki potensi
ekonomi cukup besar karena memiliki kekayaan alam, berupa sumber daya minyak. Oleh
karena itu, wajar jika muncul berbagai kepentingan yang mendasari munculnya
masalah persengketaan ini. Bukan saja kepentingan ekonomi, melainkan juga
adanya faktor kepentingan politik di antara dua negara. Bagi Malaysia, secara
internasional akan merasa "menang" terhadap Indonesia, jika berhasil
mengklaim blok Ambalat.
Beda lagi
bagi Indonesia yang secara politik ingin mempertahankan blok Ambalat, karena
dianggap sama dengan mempertahankan kedaulatan bangsa. Diketahui, pada 25 Mei lalu kapal
perang milik angkatan laut Malaysia yakni KD Yu-3508 ditemukan oleh kapal
Indonesia KRI Untung Suropati berada di wilayah Ambalat. KD Yu mengatakan bahwa
tujuannya ke Tawau, namun begitu KRI Untung Suropati berhasil mengusirnya.
Lalu pada
29 Mei belasan kapal berbendera Malaysia, berhasil terdeteksi pesawat pengintai
TNI Angkatan Udara di perairan batas terluar blok Ambalat. Salah satu
diantaranya adalah kapal perang patroli Jerong milik Tentara Diraja Malaysia. Ci vis pacem para bellum -yang
berarti jika ingin damai, bersiaplah untuk berperang- adalah ungkapan klasik
untuk menggambarkan suasana hati sebagian rakyat Indonesia dalam melihat
sengketa wilayah Ambalat, Kalimantan Timur. Seakan-akan, tidak ada pilihan lain
kecuali berperang untuk mempertahankan Blok Ambalat. Sementara itu, diplomasi menjadi
pilihan yang tidak populer. Hal itu terbukti dengan maraknya
pendirian posko-posko sukarelawan di seluruh wilayah
tanah air dengan memanfaatkan retorika Bung Karno pada 1960-an ketika
menginginkan konfrontasi dengan negeri jiran, "ganyang Malaysia". Sementara, pemimpin kedua negara
masih berusaha mengedepankan dialog dan perundingan dalam menyelesaikan
sengketa perbatasan dan pemilikan wilayah Ambalat tersebut. Hal itu bisa
dilihat dari statemen kedua pemimpin, baik dari Malaysia maupun Indonesia,
tentang perlunya menyelesaikan kasus tersebut dengan cara-cara damai.
Pertanyaannya
sekarang, di antara dua pilihan tersebut, mana yang lebih tepat dilakukan oleh
kedua negara? Penyelesaian melalui jalur diplomasi, tampaknya, akan lebih
elegan dalam masa sekarang ini dibandingkan dengan melaui jalur konfrontasi
bersenjata.
Mengingat
zaman telah berubah dan hubungan antarbangsa telah berkembang menuju hubungan
yang lebih mengedepankan penghargaan pada martabat kemanusiaan. Oleh karena
itu, perang yang ganas dan keji tidak lagi menjadi pilihan populer sebagai
resolusi konflik antarbangsa.
Penyelesaian
sengketa wilayah Ambalat melalui konfrontasi bersenjata akan merugikan kedua
belah pihak, yang tidak saja secara politik sebagai akibat langsung
konfrontasi, tetapi juga di bidang ekonomi dan sosial. Secara politik, citra
kedua negara akan tercoreng, paling tidak, di antara negara-negara anggota
ASEAN. Kedua negara termasuk pelopor berdirinya ASEAN, di mana ASEAN didirikan
sebagai sarana resolusi konflik, maka cara-cara penyelesaian konflik yang
konfrontatif dapat menjatuhkan citra mereka di ASEAN.
Dalam
bidang ekonomi, kedua negara akan mengalami kerugian. Kedua belah pihak akan
meningkatkan anggarannya untuk biaya berperang, sedangkan biaya itu bisa
dialihkan kepada sektor lain. Belum lagi masalah TKI, yang kedua belah pihak
sangat berkepentingan. Bagi Indonesia, TKI adalah remittance yang menjadi
sumber devisa, sementara ekonomi Malaysia juga bergantung kepada keberadaan
TKI. Perputaran ekonomi masyarakat di wilayah perbatasan yang saling bergantung
juga perlu dipertimbangkan. Aspek
sosialnya juga tidak sedikit. Pengalaman berkonfrontasi dengan Malaysia
pada tahun '60-an telah memberikan pengalaman traumatis bagi sebagian
warga Indonesia. Berapa banyak keluarga yang terpisah akibat konfrontasi
tersebut. Tidak adanya kompensasi dari akibat konfrontasi, terutama
pada masyarakat di perbatasan.
Tetapi,
keinginan untuk menyelesaikan sengketa itu melalui jalur konfrontasi masih bisa
dipahami, paling tidak dalam tiga hal. Pertama, masyarakat Indonesia mengalami
pengalaman yang traumatis terhadap gagalnya upaya diplomasi atas perebutan
Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia pada 2002.
Indonesia
dan Malaysia harus secara jelas menyampaikan mana batas wilayah yang diklaim
dan apa landasan yuridisnya. Dalam hal ini, Malaysia tampaknya akan menggunakan
peta 1979 yang kontroversial itu. Sementara Indonesia mendasarkan klaimnya pada
UNCLOS 1982.
Jika
gagal, maka perlu dilakukan cooling down dan selanjutnya masuk langkah kedua
dengan menetapkan wilayah sengketa sebagai status quo dalam kurun waktu
tertentu. Pada tahap ini, bisa saja dilakukan eksplorasi di Blok Ambalat
sebagai sarana untuk menumbuhkan rasa saling percaya kedua belah pihak
(confidence building measures). Pola ini pernah dijalankan Indonesia-Australia
dalam mengelola Celah Timor.
Langkah
ketiga bisa memanfaatkan organisasi regional sebagai sarana resolusi konflik,
misalnya, melalui ASEAN dengan memanfaatkan High Council seperti termaktub
dalam Treaty of Amity and Cooperation yang pernah digagas dalam Deklarasi Bali
1976. Malaysia
akan enggan menggunakan jalur ini karena takut dikeroyok negara-negara
ASEAN lainnya. Sebab, mereka memiliki persoalan perbatasan dengan
Malaysia akibat ditetapkannya klaim unilateral Malaysia berdasarkan peta 1979,
seperti Filipina, Thailand, dan Singapura. Di samping itu, kedua negara juga
bisa memanfaatkan jasa baik (good office) negara yang menjadi ketua ARF (ASEAN Regional Forum)
untuk menengahi sengketa ini. Jika
langkah ketiga tersebut tidak juga berjalan, masih ada cara lain. Membawa
kasus itu ke Mahkamah Internasional (MI) sebagai langkah nonpolitical
legal solution. Mungkin, ada keengganan Indonesia untuk membawa kasus tersebut
ke MI karena pengalaman pahit atas lepasnya Sipadan dan Ligitan. Tetapi, jika
Indonesia mampu menunjukkan bukti yuridis dan fakta-fakta lain yang kuat,
peluang untuk memenangkan sengketa itu cukup besar. Pasal-pasal yang ada pada
UNCLOS 1982 cukup menguntungkan Indonesia, bukti ilmiah posisi Ambalat yang
merupakan kepanjangan alamiah wilayah Kalimantan Timur, bukti sejarah bahwa
wilayah itu merupakan bagian dari Kerajaan Bulungan, dan penempatan kapal-kapal
patroli TNI-AL adalah modal bangsa Indonesia untuk memenangkan sengketa
tersebut.
Republik
Indonesia adalah Negara kepulauan berwawasan nusantara, sehingga batas wilayah
di laut harus mengacu pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the
Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun
1985. Indonesia memiliki sekitar 17.506 buah pulau dan 2/3 wilayahnya berupa
lautan. Dari 17.506
pulau tersebut terdapat Pulau-pulau terluar yang menjadi batas langsung
Indonesia dengan negara tetangga. Berdasarkan hasil survei Base Point atau
Titik Dasar yang telah dilakukan DISHIDROS TNI AL, untuk menetapkan batas
wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92
pulau terluar, sisanya ada di tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai.
Dari 92 pulau terluar ini ada 12 pulau yang harus mendapatkan perhatian serius.
Indonesia
mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua
Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara
tetangga, diantaranya Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini,
Timor Leste, India, Thailand, Australia, dan Palau. Hal ini tentunya sangat
erat kaitannya dengan masalah penegakan kedaulatan dan hukum di laut,
pengelolaan sumber daya alam serta pengembangan ekonomi kelautan suatu negara.
Kompleksitas
permasalah di laut akan semakin memanas akibat semakin maraknya kegiatan di
laut, seperti kegiatan pengiriman barang antar negara yang 90%nya dilakukan
dari laut, ditambah lagi dengan isu-isu perbatasan, keamanan, kegiatan ekonomi
dan sebagainya. Dapat dibayangkan bahwa penentuan batas laut menjadi sangat
penting bagi Indonesia, karena sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung
dengan negara tetangga di wilayah laut. Batas laut teritorial diukur
berdasarkan garis pangkal yang menghubungkan titik-titik dasar yang terletak di
pantai terluar dari pulau-pulau terluar wilayah NKRI. Berdasarkan hasil survei
Base Point atau titik dasar untuk menetapkan batas wilayah dengan negara
tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada
di tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai.
Dalam
menyikapi gerak langkah Malaysia dalam memperluas wilayahnya Indonesia harus
tegas. Kita tidak boleh lagi kehilangan sejengkal pun wilayah kita, apa pun
ongkosnya. Terjaganya luas wilayah Indonesia merupakan wujud dari kedaulatan
kita sehingga kita harus mempertahankan dengan cara apa pun. Pemerintah
Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menyelesaikan sengketa perbatasan melalui
perundingan. Penyelesaian melalui perundingan tetap dapat dilakukan. Akan
tetapi, kita tidak boleh percaya kepada Malaysia. Negara tetangga kita itu
pandai mengkomunikasikan pesan damai ke dunia internasional. Padahal, di
tataran teknis mereka berbeda sama sekali. Patok-patok perbatasan di Kalimantan
selalu digeser. Kayu di hutan kita pun dicurinya. Sayangnya, para pemimpin kita
seakan-akan tidak peduli dengan hal-hal tersebut.
Upaya
untuk mempertahankan wilayah Indonesia merupakan tanggung jawab kita semua.
Selama ini kita mungkin memandang bahwa penanggung jawab upaya mempertahankan
kedaulatan wilayah RI adalah TNI. Hal tersebut tidak tepat. Kita semua
bertanggung jawab untuk membantu negara dalam mempertahankan kedaulatan wilayah
RI. Kerja sama dan sinergi antar instansi pemerintah, pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, pemerintah dengan swasta, dan pemerintah dengan masyarakat
harus diperkuat.
Agar tidak terjadi konflik
berkepanjangan hendaknya pemerintah melalukan :
1. pemetaan kembali titik-titik perbatasan
Indonesia
Pemetaan kembali titik-titik
perbatasan wilayah Indonesia harus dilakukan. Hasil pemetaan baru tersebut
harus dibandingkan dengan pemetaan yang pernah dilakukan sebelumnya. Koordinat
titik-titik perbatasan sangat penting untuk kita inventarisir dan dimasukkan
dalam sebuah undang-undang mengenai perbatasan wilayah Indonesia. Apabila
perlu, daripada konstitusi diubah-ubanh hanya untuk keperluan rebutan
kekuasaan, masukkan klausul mengenai titik-titik perbatasan tersebut dalam UUD.
2. Bangun jalan di sepanjang perbatasan
darat. Pandangan kita mengenai perbatasan sebagai wilayah terpencil harus kita
ubah. Mulai saat ini kita harus memandang perbatasan sebagai wilayah strategis.
Strategis untuk mempertahankan wilayah kita. Oleh karena itu, pemerintah pusat
dan daerah yang memiliki wilayah perbatasan darat dengan negara tetangga
seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Papua harus
memprioritaskan pembangunan prasarana jalan di sepanjang perbatasan. Jalan
tersebut dihubungkan ke pusat kota atau pusat pemukiman terdekat. Tujuan
pembangunan jalan tersebut adalah untuk merangsang pembangunan kota atau
pemukiman baru di dekat perbatasan.
3. Bangun wilayah baru di dekat
perbatasan. Setelah di sepanjang perbatasan dibangun jalan yang terhubung ke
pusat kota atau pusat pemukiman terdekat, pemerintah daerah diharuskan
membangun wilayah baru di dekat perbatasan. Pembangunan untuk perluasan kota
yang sudah mapan harus dihambat dan masyarakat dirangsang untuk mengembangkan
wilayah baru. Untuk melakukan hal tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah harus menyusun konsep pengembangan wilayah perbatasan secara
komprehensif agar wilayah baru yang dibentuk dapat hidup baik secara ekonomi
maupun sosial.
Selain itu, wilayah baru yang
dibangun sebaiknya diarahkan untuk memiliki spesialsisasi. Misalnya, ada blok
khusus jeruk Pontianak, blok khusus kebun aren, blok khusus sawah padi, dll.
untuk merangsang masuknya investasi bisnis pendukung di sana.
4. Pembangunan pangkalan militer di dekat
perbatasan. Saat ini kita melihat gelaran pasukan TNI kita kurang memadai untuk
melakukan upaya menjaga perbatasan negara. Gelaran pasukan justru diletakkan di
wilayah-wilayah padat penduduk yang sudah terbangun. Gelaran pasukan seperti
ini harus diubah. Batalyon-batalyon yang berada di wilayah “aman” dari gangguan
luar sepantasnya direlokasi ke wilayah perbatasan. Apalagi, urusan keamanan dan
ketertiban saat ini sudah menjadi tanggung jawab kepolisian.
5. Galakkan kembali transmigrasi. Program
transmigrasi yang dulu gencar dilaksanakan pada era Orde Baru harus digalakkan
kembali. Transmigran diarahkan untuk mendiami wilayah-wilayah baru yang
dibentuk di dekat perbatasan. Saya yakin, apabila infrastruktur transportasi
dan komunikasi disiapkan, banyak penduduk dari wilayah-wilayah padat yang
bersedia bertransmigrasi.
6. Pilih pemimpin yang kuat dan tegas.
Pemimpin yang kuat dan tegas sangat penting. Terlepas dari segala kekurangan
yang dituduhkan, kita pernah memiliki dua sosok pemimpin yang tegas sehingga
dihormati kawan dan disegani lawan. Kedua pemimpin yang kuat dan tegas itu
adalah Soekarno dan Soeharto. Pada saat kedua orang itu memimpin, tidak ada
yang berani melecehkan negara kita.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Indonesia
mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua
Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara
tetangga, diantaranya Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini,
Timor Leste, India, Thailand, Australia, dan Palau. Hal ini tentunya sangat
erat kaitannya dengan masalah penegakan kedaulatan dan hukum di laut,
pengelolaan sumber daya alam serta pengembangan ekonomi kelautan suatu negara.
Sengketa
blok Ambalat antara Indonesia-Malaysia tercatat telah sering terjadi. Terhitung
sejak Januari hingga April 2009 saja, TNI AL mencatat kapal Malaysia telah
sembilan kali masuk ke wilayah Indonesia. Blok Ambalat dengan luas 15.235
kilometer persegi, ditengarai mengandung kandungan minyak dan gas yang dapat
dimanfaatkan hingga 30 tahun. Bagi masyarakat perbatasan, Ambalat adalah asset
berharga karena di sana diketahui memiliki deposit minyak dan gas yang cukup
besar. Kelak, jika tiba waktunya minyak dan gas tersebut bisa dieksploitasi,
rakyat di sana juga yang mendapatkan dampaknya.
B. SARAN
Dengan
kekayaan yang di miliki Indonesia , diharapkan pemerintah bisa lebih
memperhatikan sekali daerah-daerah perbatasan. Jangan sampai Indonesia
kehilangan pulau kembali, untuk itu kita sebagai bangsa Indonesia harus siap
siaga menjaga wilayah Negara kita baik itu di perbatasan maupun di didaerah
perkotaan.
Keberadaan
pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau
inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan
perhatian dan pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat
menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah
perbatasan dengan negara negara yang tidak/ belum memiliki perjanjian
(agreement) dengan Indonesia. Dari 92 pulau terluar yang dimiliki Indonesia
terdapat 12 pulau yang harus mendapat perhatian khusus, Pulau-pulau tersebut
adalah Pulau Rondo, Berhala, Nipa, Sekatung, Marore, Miangas, Fani, Fanildo,
Dana, Batek, Marampit dan Pulau Bras.
DAFTAR PUSTAKA
- Koran tempo : Senin, 14 Maret 2005
Ambalat,
Konflik Energi Indonesia-Malaysia
- Kahar, Jounil, 2004. Penyelesaian
Batas Maritim NKRI . Pikiran Rakyat 3 Januari 2004
Tim
Redaksi, 2004. Pulau-pulau terluar Indonesia. Buletin DISHIDROS TNI AL edisi 1/
III tahun 2004
- http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/ekonomi/shell_ambalat050316-redirected
-
http://www.scribd.com/doc/4407559/KONFLIK-RIMALAYSIA
-
http://geopolitikenergi.wordpress.com/2007/05/09/konflik-ambalat-hanya-menguntungkan-penjajah
- www.tempo interaktif.com
![Text Box: i](file:///C:/Users/server/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.png)